Potret buram dunia pendidikan mulai tercoreng lagi. Beredarnya pemberitaan tentang contekan massal yang terjadi di Jawa Timur Surabaya membuat dunia pendidikan semakin memprihatinkan. Bahkan setelah pemberitaan yang ada di Jawa Timur, hari demi hari media massa mulai menguak praktek yang sama ( contekan massal ) diberbagai tempat. Kita sebagai pemerhati pendidikan untuk anak-anak sedikit kecewa dengan kelakuan orang-orang yang membuat dunia pendidikan ini sedikit terpuruk.
Kasus sama yang terjadi di Jawa Timur tersebut mungkin memang sudah lama terjadi di kalangan dunia pendidikan namun tidak ada satu orangpun yang berani membongkarnya. Orang-orang yang ada disekeliling terlena dengan keadaan itu meskipun mereka punya segudang bukti. Sekarang ketika suatu bukti terkuak nyata maka berbagai reaksi terjadi di kalangan masyarakat. Sangat miris melihat kenyataan yang terjadi pada seorang bocah dan orang tuanya yang berani menyuarakan sebuah kejujuran. Dampak kejujuran yang dilakukan oleh sang bocah dan orang tuanya menuai kecaman dari segelintir masyarakat, namun di pihak lain banyak juga yang menaruh simpati terhadap sang bocah dan orang tuanya.
Kejujuran pada zaman sekarang bagaikan barang langka yang sangat sulit didapatkan. Dalam kejujuran tergantung pada kualitas diri. Dalam kejujuran tersimpan banyak unsur, mulai dari kepercayaan, integritas, ketulusan hati, kerelaan dalam ketatan, dan yang terpenting adalah relasi hati dan diri yang tak pernah tercemar oleh laku tipu tindakan bodoh pembohongan terhadap diri. Karena itulah kejujuran adalah sesuatu yang sangat barang yang sangat langka dan mahal. Tak hanya karena semakin tipisnya arti kejujuran dalam hidup, tapi juga karena tak sedikit jumlah orang yang tak lagi memegang arti sebuah kejujuran terbukti dengan semakin banyaknya kasus kriminalitas, baik yang sudah tertangkap, maupun yang sembunyi-sembunyi dan masih aman-aman saja. Tentunya tak perlu disebutkan di sini. Jujur bukanlah sebuah usaha untuk menaikkan pamor diri. Jujur adalah sebuah “kepolosan dan keikhlasan untuk berbuat sesuatu, yang lebih baik lagi. Dalam kejujuran tersimpan suatu kekuatan spiritual yang besar, yang terekspresi sebagai akibat dari diri yang “manunggal” dengan yang tinggi.
Kejujuran yang dilakukan oleh bocah SD yang akhir-akhir ini menjadi berita hangat merupakan contoh nyata bahwa kejujuran itu sangat mahal harganya. Mungkin hal ini tidak pernah terpikirkan oleh Ny Siami maupun Alif sang anak bahwa kejujuran yang mereka kemukakan ke depan khayalak ramai tentang contek missal pada waktu ujian nasional itu akan menuai petaka buat keluarganya. Mereka malah diusir dari kampong tempat mereka tinggal. Keluarga Ny. Siami dituding telah mencemarkan nama baik sekolah dan kampung. Setidaknya empat kali, warga menggelar aksi unjuk rasa, menghujat tindakan ibu dan ank tersebut. Sebuah kenyataan yang cukup pahit seandainya kita berada dalam posisi seperti itu. Di salah satu segi kita ingin mengemukakan rasa jujur dalam ruang lingkup kehidupan kita tapi di segi lain akan banyak orang yang mengecam tindakan tersebut.
Mahalnya harga sebuah kejujuran akan membuat orang seribu kali berpikir untuk bisa mendapatkannya. Maka dari itu semakin langka pula orang yang mau bersikap jujur terhadap sebuah situasi. Fenomena masyarakat sekarang ini sudah terlalu sering disugguhkan dengan kecurangan maka untuk bisa menemukan orang yang jujur itu sangat sulit. Bahkan ketika orang yang jujur itu mulai berkata dan mengemukakan kejujurannya maka masyarakat akan merasa aneh dengan sikap orang tersebut sehingga ancaman dan kecamanpun akan segera terlontar dari mulut dan tingkah mereka.
Kalau dilihat dari segi positif tentang nilai rasa jujur yang melekat dalam diri seseorang itu sangatlah bagus. Bahkan kadang kita apabila bertindak sebagai orang tua ataupun guru pastilah sangat mengharapkan nilai kejujuran itu tertanam pada diri anak maupun siswa kita. Dalam jangka pendek pendek kejujuran memang kadang kala membawa resiko buat orang yang mau berkata jujur terhadap sesuatu apalagi perkataannya itu menyangkut kesalahan orang lain. Namun, jangka panjang dari sebua kejujuran itu bisa membuat nyaman dan hati bisa merasa tenang. Seperti pada salah satu buku karangan Mahatma Gandhi yang menceritakan tentang dirinya dan rasa ingin jujur yang bergelut dalam batinnya. Pada bukunya tersebut Mahatma Ghandi, ada pengalaman beliau sewaktu ujian Bahasa Inggris. Karena guru pengawas merasa kasihan atas kekurangmampuan Gandhi, maka pengawas membantu dengan memberikan beberapa jawaban. Akhirnya Mahatma Gandi mendapat nilai yang tinggi. Yang menarik, Mahatma Gandhi menjadi stress dan kecewa kepada dirinya yang merasa tidak pantas mendapat nilai yang tinggi. Akhirnya beliau menghadap guru dan menolak nilai tersebut. Beliau lebih puas dan nyaman dengan nilai apa adanya. Kalau melihat kembali kasus yang mencuat dari contek massal ini merupakan suatu peristiwa yang luar biasa dialami oleh sang anak yang juga berani mengemukakan kejujurannya. Seharusnya dia mendapatkan apresiasi dari masyarakat maupun pemerintah karena nilai kejujuran sudah tertanam bagus dibenaknya.
Saat ini banyak sekali manusia-manusia yang sudah tidak berpegang lagi pada pentingnya arti sebuah kejujuran manusia sekarang hanya berpatokan pada perut dan kenyataan yang harus dihadapi. Kejujuran bukan lagi sebuah hal yang harus dijunjung tinggi dalam sikap, tindakan dan omongan sehari-hari. Kejujuran sudah seperti sampah lapuk yang tidak ada arti dan bahkan tidakdapat difungsikan lagi. Padahal kejujuran merupakan sebuah tonggak, merupakan sebuah tiang pancang yang kokoh untuk menyangga kehidupan manusia dan menjaga hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan alam dan manusia dengan Tuhannya.
Ketika manusia sudah mulai tidak jujur terhadap manusia yang lain, maka mulailah muncul perseteruan, pertengkaran, percekcokan, perselisihan dan berujung pada penghilangan nyawa seorang manusia. Ketika manusia sudah tidak jujur dengan alam, maka mulailah kehancuran alam, ilegal logging yang berujung pada kemurkaan alam dengan longsor, banjir, semburan gas alam, semburan lumpur yang berujung pada musnahnya juga aspek-aspek penting dan semua pengisi alam termasuk manusianya itu sendiri. Dan ketika manusia tidak lagi jujur dengan Tuhannya, maka kemurkaan Tuhan turun dan lebih seram dari kemurkaan alam, hasilnya? manusia tidak lagi sempat memohon ampun ketika Tuhan mencabut nyawa manusia itu.
Salam
1 komentar
Depo 20ribu bisa menang puluhan juta rupiah
BalasHapusmampir di website ternama I O N Q Q
paling diminati di Indonesia
Posting Komentar